Tahun Baru Hijriyah Sang waktu terus berjalan dan berubah dan tidak ada sesuatu yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan itu terjadi dengan sendirinya karena dimakan usia seperti umur suatu benda yang lama kelamaan terus berubah tanpa harus ada campur tangan manusia. Namun perubahan perilaku manusia memerlukan ikhtiar yang diawali niat, termasuk memaknai pergantian tahun baru Islam 1 Muharram 1434 Hijriyah.
Tak terasa kita telah
memasuki tahun baru 1434 Hijriah, tepatnya saat ini kita sudah berada di bulan
Muharram. Adapun kata muharram berasal dari kata “harrama” yang mengalami
perubahan bentuk menjadi “yuharrimu-tahriiman-muharraman-muharrimun“. Bentukan
“muharraman” berarti yang diharamkan. Apa yang diharamkan ? Perang atau
pertumpahan darah! Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At Taubah
ayat 36 :
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah sebagaimana disebut di Kitabullah ada 12 bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dan terdapat 4 bulan di dalamnya merupakan bulan yang diharamkan”.
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah sebagaimana disebut di Kitabullah ada 12 bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dan terdapat 4 bulan di dalamnya merupakan bulan yang diharamkan”.
Membicarakan bulan Muharram pasti tidak akan lepas dari peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya kalender Islam. Ini artinya hijrah Rasulullah SAW beserta para sahabatnya ke Madinah telah berumur 1434 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah yang patut dikenang dan bisa menjadi proses transformasi spiritual. Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati yang mengapresiasikan perlawanan akan kebathilan sekaligus sikap konsisten mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apa pun, agar ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan meski karenanya harus berdarah-darah mereka harus meninggalkan negeri, harta, sanak dan handai taulan tercinta.
Secara harfiah hijrah
artinya berpindah. Secara istilah ia mengandung dua makna yaitu, hijrah makani
dan hijrah maknawi . Hijrah makani artinya hijrah secara fisik berpindah dari
suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik dari negeri kafir menuju
negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang
baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari
kekufuran menuju keIslaman. Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan
sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah. Alasannya hijrah fisik adalah refleksi dari
hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam
hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani jelas
mereka berjalan dari Mekah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lbh
450 km. Secara maknawi jelas mereka hijrah demi terjaganya misi Islam.
Al-Qahthani menyatakan
bahwa hijrah sebagai urusan yang besar. Hijrah berhubungan erat dengan al-wala’
wal-bara’, bal hiya min ahammi takaalifahaa, bahkan ia termasuk manifestasi
yang paling penting. Penting karena menyangkut ketepatan sikap seorang muslim
dalam memberikan perwalian kesetiaan dan pembelaan. Juga menyangkut ketepatan
seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yang patut
dimusuhi. Dalam sejarah para rasul juga dekat dengan tradisi hijrah dan semua
atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas kesetiaan keimanan yang berujung
menuju kepada yang lebih baik atas ridha Allah SWT. Sebut misalnya Nabi Ibrahim
Khalilullah beliau telah melakukan hijrah beberapa kali dari Babilon ke
Palestina dari Palestina ke Mesir dari Mesir ke Palestina lagi, semua demi
risalah suci.
Ibrah dari dari
peristiwa hijrah adalah sebuah pengorbanan. Setelah para sahabat keluar dari
ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Mekah tidak otomatis
menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adalah
cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah bagaimana sahabat meninggalkan
keluarga tercinta rumah pekerjaan tanah air dan sanak kadang dan handai taulan.
Secara lahiriyah umumnya
naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai
material yang barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke
suatu tempat asing yang penuh spekulasi. Toh kecintaan para sahabat akan Islam
mengalahkan kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya. Hal
ini sekaligus menegaskan betapa maslahat “din” menempati pertimbangan tertinggi
dari maslahat-maslahat yang lain. Pelajaran lain hijrah menegaskan adanya
perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran.
Allah SWT berfirman
dalam Surat Al Baqarah ayat 147 yang artinya : “Kebenaran itu datang dari
Rabb-mu maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu-ragu”. Untuk
menangkap spirit hijrah lebih jauh rumusan sederhana Ibnu Qayyim cukup menarik
katanya dalam kata hijrah terkandung arti berpindah “dari” dan berpindah
“menuju”. Maksudnya berpindah dari yang semula tidak sesuai dengan tuntunan
Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yang sesuai dengan tuntunan Allah dan
Rasul-Nya.
Jika rumusan global
tersebut betul-betul dihayati tiap muslim untuk selanjutnya secara konsisten
diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan barangkali nasib umat ini secara umum
akan lebih baik dari sekarang, karena dalam dirinya terdapat potensi
raksasa/kekuatan yang luar biasa, yang apabila digali dan di manaje dengan
sungguh-sungguh akan mengantarkan kepada kehidupan kita yang jauh lebih baik,
lurus, dan cerah. Ketidak sadaran akan potensi dirinya akan berdampak kepada
pengkerdilan potensi itu sendiri. Sehingga manusia (kita) sering tidak berdaya
dalam menghadap persoalan hidup.
Bentuk ketidak sadaran
akan potensi diri ini bisa bersifat individu atau kolektif. Dalam tataran
individu hal itu akan membuat individu yang bersangkutan mengalami kelumpuhan
berfikir, kelumpuhan nurani dan kelumpuhan beraksi yang akhirnya bisa
menimbulkan sifat “malas”. Selanjutnya akan dapat menimbulkan pola pikir yang
“seandainya, jikalau , umpama” (seandanya saya jadi orang kaya, jikalau saya
seorang pejabat dll). Sedangkan dalam skala kolektif akan menimbulkan
kelumpuhan satu bangsa, satu generasi atau satu ummat, sehingga akan melahirkan
generasi yang mandul, ummat yang rapuh dan bangsa yang stagnan. Padahal Allah
sudah memberikan peringatan dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran:139) :
“Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu orang-orang yang beriman”.
“Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu orang-orang yang beriman”.
Dalam menafsirkan ayat
di atas Sayyid Quthb berkata : Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah kamu
bersedih hati atas apa yang menimpamu; dan jangan pula kamu bersedih hati atas
apa yang lepas dari tanganmu, padahal kamu adalah orang-orang yang tinggi.
Akidah kalian lebih tinggi karena kalian bersujud pada Allah semata sedangkan mereka
menyembah pada salah satu makhlukNya atau sebagian dari makhluknya. Manhaj
hidup kalian lebih tinggi sebab kalian berjalan di atas manhaj Allah sedangkan
mereka berjalan di atas manhaj ciptaan makhlukNya. Peran kalian lebih tinggi
sebab kalian mendapat tugas untuk memberi petunjuk kepada manusia secara
keseluruhan yang sedang berjalan tanpa manhaj atau menyimpang dari manhaj yang
lurus. Posisi kalian di muka bumi lebih tinggi sebab kalian adalah pewaris bumi
yang Allah janjikan pada kalian, sedangkan mereka menuju pada kebinasaan dan
dilupakan. Maka jika kalian benar-benar beriman pasti kalian akan lebih tinggi,
dan janganlah kalian bersikap lemah serta bermuramdurja (Tafsir Fi Zhilal al
Quran,I/480).
Sementara itu menurut
Imam Asy Syaukani teks ayat di atas dari segi makna saling berkaitan. Artinya
jika kamu beriman maka janganlah kamu bersedih, atau jika kamu beriman maka
kamulah orang yang paling tinggi (Fath al Qadir,I/384).
Hal serupa bisa kita
dapatkan dalam teks ayat yang lain, yaitu QS. Ali Imran : 146 :
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah SWT, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah SWT, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.
Begitu pula dengan
FirmanNya QS.Muhammad : 35 :
“Maka janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu”.
“Maka janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu”.
Sering kita tidak
menyadari bahwa kita memiliki potensi untuk mengatur menjadi “imam” umat lain,
menjadi imam peradaban dan budaya. Sesungguhnya Allah membuka kesempatan bagi
kita untuk menjadi ummat terbaik di mata dunia. Kita sering lupa bahwa Allah memberi
kita potensi untuk menjadi umat pilihan, ummat penengah yang mampu memberikan
rahmat dan kesejukan pada sesama, mampu menebarkan keadilan, melindungi hak-hak
manusia dan menghargai martabat mereka. Sebagaimana Firman Nya dalam QS.Ali
Imran:110 :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah SWT”.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah SWT”.
Juga dalam QS.Al
Baqarah:143 :
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi (perbuatan) manusia”.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi (perbuatan) manusia”.
Dari ayat-ayat di atas
dapat kita pahami sesungguhnya Allah SWT telah mendesain kita (umat Islam)
sebagai umat pilihan, umat yang dapat mendatangkan kesejukan, memberikan rasa
nyaman, memberikan keadilan dan menghargai martabat manusia. Namun terkadang
akibat keserakahan, ketamakan, iri dengki, hasud dsb kita jauh keluar jalur
dari desain Allah. Sehingga akibatnya tidak hanya merugikan si pelaku tapi juga
mengakibatkan kerugian kepada yang lain. Juga karena perbuatan manusia yang di
luar desain Allah mengakibatkan Agama Islam yang begitu tinggi dan mulia
menjadi ternoda, efeknya akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak senang
dengan Islam (musuh Islam) dengan menciptakan opini publik, pelabelan-pelabelan
bahwa Islam itu radikal, militan, identik dengan teroris dsb. Padahal
sesungguhnya Islam itu adalah agama pembawa kedamaian bahkan sebagai rahmatan
lil’alamiin.
Kesimpulan : Orang-orang
beriman bisa melejitkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya secara maksimal
dalam bingkai keimanan dan ketaqwaan jika mampu menyuruh manusia untuk berbuat
baik, menebarkan kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang mungkar yang
merugikan manusia lainnya. Kita akan dianggap kelompok orang yang beriman jika
dalam setiap gerak kita aksi kita selalu bertaburan kebaikan dan sepi dari
kemungkaran. Kesadaran untuk menjadi mukmin secara hakiki akan mengantarkan
kita kepada pola pikir dan aksi yang positif, mendorong kita untuk melakukan
kerja besar dan menghindarkan kita dari perbuatan/pekerjaan yang sia-sia.
Kesadaran bahwa kita mendapat asuransi bersyarat dari Allah sebagai umat
terbaik, umat pilihan, dan saksi bagi segenap manusia akan memacu, mendorong
serta menggerakkan kita untuk melakukan agenda strategis untuk mengangkat
derajat umat Islam yang sedang dirugikan oleh cara berpikir dan berperilaku
yang keliru.
Oleh karena itu kita
harus mulai dari diri kita (ibda’ binafsik) selanjutnya kesadaran individu
harus bermetamorfosis menjadi kasadaran kolektif, menjadi kesadaran umat,
sehingga kita mampu menempatkan diri pada tempat yang seharusnya. Kita harus
menjadi umat yang mulia dan bukan menjadi hina. Kita harus menjadi umat yang
memimpin dan bukan yang dipimpin. Kita harus menjadi Khairul Ummah (ummat yang
terbaik) dalam bingkai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Umat Islam
Indonesia harus memahami makna hijrah secara makro. Hijrah bukan hanya pindah
dari suatu tempat ke tempat lainnya. Tapi makna hijrah secara luas adalah
perubahan, termasuk perubahan pola pikir dalam menempuh perjalanan hidup di
dunia ini. WAllahu a’lam. Bishowab.
1 komentar:
BAGI TEMAN-TEMAN YANG SELALU KALAH DALAM PERMAINAN TOGEL DAN INGIN MERASAKAN YANG NAMANYA KEMENANGAN SILAHKAN HUBUNGI MBAH SARTO DI 082=378=607=111 JANGAN ANDA RAGU UNTUK MENCOBA DULU DAN YANG PENTING KITA BERANI MELANGKAH KARNA KITA CUMA MANUSIA BIASA YANG HANYA MAMPU BERUSAHA DAN BERDOA,INGAT SIAPA YANG BERSUNGGUH-SUNGGUH PASTI AKAN MENDAPATKANNYA DAN ALLAH TIDAK MERUBAH NASIB KITA KALAU BUKAN KITA SENDIRI YANG MERUBAHNYA…KALAU KITA BERSUNGGUH-SUNGGUH DAN NIAT KITA BAIK INSYA ALLAH OTOMATIS HASILNYA KITA AKAN RASAKAN SENDIRI,KARNA SAYA SENDIRI SUDAH MERASAKANNYA DAN SUDAH MELIHAT BUKTINYA KALAU ANKA DARI HASIL RITUAL DARI MBAH SARTO BISA MEMBAWA SAYA JAUH LEBIH SUKSES DARI SEBELUMNYA DAN SILAHKAN ANDA MEMBUKTIKAN SENDIRI.
BAGI TEMAN-TEMAN YANG SELALU KALAH DALAM PERMAINAN TOGEL DAN INGIN MERASAKAN YANG NAMANYA KEMENANGAN SILAHKAN HUBUNGI MBAH SARTO DI 082=378=607=111 JANGAN ANDA RAGU UNTUK MENCOBA DULU DAN YANG PENTING KITA BERANI MELANGKAH KARNA KITA CUMA MANUSIA BIASA YANG HANYA MAMPU BERUSAHA DAN BERDOA,INGAT SIAPA YANG BERSUNGGUH-SUNGGUH PASTI AKAN MENDAPATKANNYA DAN ALLAH TIDAK MERUBAH NASIB KITA KALAU BUKAN KITA SENDIRI YANG MERUBAHNYA…KALAU KITA BERSUNGGUH-SUNGGUH DAN NIAT KITA BAIK INSYA ALLAH OTOMATIS HASILNYA KITA AKAN RASAKAN SENDIRI,KARNA SAYA SENDIRI SUDAH MERASAKANNYA DAN SUDAH MELIHAT BUKTINYA KALAU ANKA DARI HASIL RITUAL DARI MBAH SARTO BISA MEMBAWA SAYA JAUH LEBIH SUKSES DARI SEBELUMNYA DAN SILAHKAN ANDA MEMBUKTIKAN SENDIRI.
Posting Komentar